Senin, 22 April 2013

Hukum Syara' (Ushul Fiqh)



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?

















BAB II
PEMBAHASAN

  1.  Pengertian Hukum syara’
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Secara etimologi, kata hukum berarti mencegah atau memutuskan. [1] Mayoritas ahli fiqh mendefinisikan hukum syara’ sebagai berikut :[2]
Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau meninggalkan atau pilihan atau berupa ketentuan.[3]


B.     Pembagian Hukum Syara’

Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Ø Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau   meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.[4] Hukum taklifi dibagi menjadi sebagai berikut :
1.  Wajib
a.  Pengertian Wajib
Pengertian wajib secara etimologi, kata wajib berarti tetap atau pasti, sedangkan secara terminologi, sesuatu yang di perintahkan  (di haruskan)  oleh Allah dan Rosul-Nya  untuk di laksanakan oleh orang mukalaf dan apabila di  laksanakan akan mendapat pahala dari allah sebaiknya apabila tidak dilaksanakan di ancam dosa .
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan. Dalam arti mengikat setiap mukalaf jika di kerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Misalnya; sholat fardu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib, dalam arti mesti dilaksanakan. Berdosa siapa yang meninggalkanya .[5]
                   b. Pembagian Wajib
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada beberapa macam pembagian.
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu wajib aini dan wajib kifa’i :          
a). Wajib ‘Aini
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balig berakal (mukalaf) tanpa keculi  ulama ushul fiqih membagi hal tersebut kepada tiga kategori.
1).  kewajiban yang berhubungan dengan harta seperti kewajiban membayar zakat atau kewajiban  mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya  lain .
2).  kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah seperti sholat dan puasa , kewajiban seperti ini di sepakati tidak bisa di gantikan oleh orang lain.
3).  kewajiban yang mempunyai dua  dimensi yaitu dimensi fisik dan dimensi harta, misalnya: kewajiban melaksanakan haji  karena ibadah haji disamping syarat  dan rukunnya juga mengandung rahasia- rahasia yang akan di rasakan oleh pihak yang melakukan haji yang tidak mungkin di rasakan bila mana di gantikan oleh orang lain.
             b). Wajib Kifa’i ( wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukalaf  namun bila mana telah di laksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi di wajibkan mengerjakannya. Misalnya :  laksanakan sholat jenajah adalah kewajiban seluruh umat islam tetapi sudah di anggap mencukupi bilamana di laksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun bila mana tidak seorangpun ada yang mengerjakannya maka seluruh umat islam di ancam dengan dosa  demikian pula dengan kewajiban melakukan amar marruf dan nahi munkar  menjawab salam belajar ilmu kedokteran dan belajar ilmu bangunan.
Di lihat dari segi kandungan perintah , hukum wajib dapat di bagi menjadi dua macam :
a). Wajib Mu’ayyan.
 yaitu suatu kewajiban di mana yang memjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain msalnaya,kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari semalam , kewajiban kelakukan puasa di bulan ramadhan ,membayar zakat ,dan menegakan keadilan . keawjiban seperti ini tidak dianggap terlaksana, kecuali dengan melaksanakan keawajiban yang telah ditentukan itu.
b). Wajib Mukhayyar
yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya  boleh di pilih antara beberapa alternatif. Misalnya kewajiban membayar kaffarat  (denda melanggar) sumpah.
Dilihat dari segi waktu pelaksanaanya ,hukum wajib terbagi menjadi dua macam:
a). Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya:  kewajiban untuk membayar puasa ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa yang tertinggal itu boleh dibayar kapan saja tanpa dibatasidengan waktu tertentu. Berbeda dengan itu menurut Imam Syafi’i kewajiban membayar puas yang tertinggal itu harus dibayar sebelum datang bulan ramadhan berikutnya. Contoh lain  Ke wajiban  membayar   kaffarat sumpah  boleh dibayar kapan saja. Tanpa dibatasi dengan waktu  tertentu.
b). Wajib Muaqqat
Yaitu  kewajiban pelaksanaanya di batasi dengan waktu tertentu. Wajib muaqqat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.      Wajib muwassa’, yaitu suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya telah ditentukan syari’ dan waktu yang diberikan cukup luas, melebihi waktu pelaksanan kewajiban itu sehingga dalam waktu itu memungkinkan melakukan amalan yang sejenis dengan kewajiban tersebut.
2.      Wajib mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang telah ditentukan waktunya dan waktu yang disediakan hanya cukup untuk pelaksanaan perbuatan yang diwajibkan, sehingga waktu itu tidak bias digunakan untuk melaksanakan amalan- amalan lain.
3.      Wajib dzusyabhaini, yaitu kewajiban yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya yang dari satu segi muwassa,(luas) dan dari segi lain mudhayyaq(sempit).

Dan bila dilihat dari segi jumlah atau ukuran yang diwajibkan terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
a)      Wajib Muhaddah, yaitu suatu kewajiban yang ditentukan syari’ jumlahnya sehingga seorang mukallaf belum terlepas dari kewajiban itu kecuali telah melaksanakan sesuai jumlah yang telah ditentukan.
b)      Wajib Ghairu Muhaddah, yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan syari’ jumlah dan ukurannya. Mengenai ukuran kewajiban itu diserahkan pada para ulama’, pemimpin dan umat untuk menetapkannya.

2 . Mahdub
a. Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti  sesuatu yang di anjurkan   Sedangkan menurut istilah : suatu perbuatan yang di anjurkan oleh Allah dan Rosul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakanya  namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakanya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menujukkan pengertian yang sama.
b. Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan mandub terbagi kepada beberapa    tingkatan :
1.      sunnah muakkadah ( sunnah yang sangat di anjurkan ) .yaitu perbuatan yang di biasakan oleh rosululoh dan jarang di tinggalkan .misal ;shalat sunah dua rakaat sebelum fajar .
2.      sunnah ghair al muakkadah (sunnah biasa ) ,yaitu sesuatu yang di lakukan Rasulullah ,namun bukan menjaadi ke biasaanya . misalnya ;melakukan sholat sunah dua kali dua rakaat sebelum zuhur ,dan seperti memberikaan sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam ke adaaan terdesak ,maka hukum membantunya adlah wajib .
3.      sunnah al zawaid yaitu:  mengikuti kebiasaan sehari hari rosululloh sebagai manusia .misanya:  sopan santun dalam makan ,minum dan tidur , .menggikuti rosulloh dalam masalah- masalah tersebut hukumnya sunnah namun tingkatanya di bawah dua macam sunnah di atas dan lebih kuat adalah macam sunnah yang di sebut pertama tadi .

3. Haram
            a. Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti, sesuatu yang di larang mengerjakanya secara teminologi ushul  fiqh kata haram  berarti  sesuatu yang di larang oleh Allah dan Rosul-Nya, di mana orang yang melarangnya di anggap durhaka dan di ancaam dengan dosa dan orang yang meninggalkanya karena menaati Allah ,di beri pahala .misalnya larangan berzina.
b. Pembagian Haram.
Para ulama ushul fiqih , maembagi haram menjadi beberapa macam
1. Al-muharram li dzatihi .
Yaitu sesuatu yang di haramkan oleh syariat karena esesinya mengandung kemudaratan bagi ke hidupan manusia , dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya:  larangan berzina meningkai wanita –wanita mahram seperti ibu kandung daan saudara kandung.
2. Al –muharram li ghairihi.
 Yaitu sesuatu yang di larang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di larang secara esensial. misalnya ,larangan melakukan jual beli pada waktu azan sholat jum’at.
4.    Makruh
a.       Pengertian makruh
Secara bahasa makruh berarti sesuatu yang di benci dalam istilah ushul fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama’ ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.[6]
b.      Pembagian makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam :
(1)   Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarangoleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat  zhanni al-warud (kebenaran datangnya dari rosulullah hanya sampai kedugaan keras), tidak bersifat pasti.
(2)   Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5.    Mubah
a.       Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
b.      Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya Al-muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam, yaitu :
(1)   Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
(2)   Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
(3)   Sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Ø Hukum wadh’i adalah firman Allah yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hukum wadh’i, yaitu sebagai berikut :

1.      Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hokum wadh’i (dalam hal ini adalah sebab) dengan hukum taklif, sekalipun keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’ Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash,  bukan buatan manusia.

2.      Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hokum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan stara’. Misalnya, wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu’. Akan tetapi, apabila seseorang berwudhu’, ia tidak harus melaksanakan shalat. Contoh lain adalah saksi dalam pernikahan. Keberadaan saksi itu adalah salah satu syarat sahnya nikah, sehingga pernikahan tanpa saksi adalah tidak sah. Akan tetapi, kesaksian itu sendiri bukanlah merupakan unsur dari nikah, karena ia berada di luar esensi nikah itu sendiri. Apabila saksi tidak ada maka hukum nikah pun tidak ada, tetapi adanya saksi tidak mengharuskan adanya pernikahan.

3.      Mani’  (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut. (H.R. Bukhari dan Muslim). Perbuatan membunuh itu merupakan mani’ (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Disisi lain, adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas, maka hubungannya keturunan (perkawinan) menjadi penghalang dilaksanakannya hukuman qishash.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat Zhuhur wajib dikerjakan apanila telah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat). Tetapi, karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani’), maka shalat zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Demikian juga halnya, apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu’), tetapi penyebab wajibnya shalat zhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir), maka shalat pun belum wajib. Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani’, yaitu haid, maka shalat zhuhur pun tidak bisa dikerjakan.

4.      Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwughu’ (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’-nya tidak ada.

5.      Bathil
Yaitu terlepasnya hukum terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Di samping batal, ulama’ Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Menurut mereka, fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama’ Ushul Fiqh/mutakallim berpendirian bahwa antara batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama, yaitu sama-sama tidak sah.

6.      ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang diisyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam Al-Baidhawi (ahli Ushul Fiqh Syafi’iyyah), mengatakan bahwa ‘azimah itu adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada uzur.” Misalnya, jumlah rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat. Jumlah raka’at ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dhuhur. Hukum tentang rakaat shalat dhuhur adalah empat rakaat disebut dengan ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh  mengerjakan shalat dhuhur dua raka’at, seperti orang mushafir, maka hukum itu disebut rukhsah. Dengan demikian, para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan rukhsah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

 Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
 Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi ada 5 yaitu wajib , mahdub, haram , makruh, mubah, . Hukum wadh’i terbagi menjadi 6 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah ,bathil dan ‘Azimah dan Rukhshah


DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasat al-Risalah,1985.
Effendi,satria.  Ushul Fiqh. Jakarta: kencana,2008.
Firdaus, Ushul Fiqh,Jakarta : Zikrul Hakim, 2004
Wahbah al- zuhaili, Ushul al- fiqh al islami, Beriut : dar al-Fikr, 2001


[1] Wahbah al- zuhaili, Ushul al- fiqh al islami, (Beriut : dar al-Fikr, 2001),hlm 37.
[2] Abd al- karim Zaidan , al-Wajiz fi Ushul al-fiqh, ( Beriut : Muassasah al- Risalah, 1997),hlm23.
[3] Firdaus M.Ag, Ushul Fiqh,( Jakarta : Zikrul Hakim, 2004)hlm 236.
[4] Wahbah,op,cit,halm.42.
[5] Satria Effendi, M Zein , Ushul Fiqh ( Jakarta: kencana,2008).hlm43.
[6] Ibid. Hal. 58

Makalah Hadits tentang kepedulian sosial



A.  Pendahuluan.

Kepedulian social termasuk dalam ibadah jika dilaksanakan dengan tujuan kebaikan. Kepedulian social dapat diartikan sebagai sikap memperhatikan urusan oranglain (sesama anggota masyarakat). Kepedulian social yang dimaksud disini bukanlah untuk mencampuri urusan oranglain, tetapi lebih pada membantu menyeleseikan permasalahan yang dihadapi oranglain dengan tujuan perdamaian dan kebaikan.
Manusia memang sejatinya tidak akan pernah terlepas dari kehidupan sosial, karena memang manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan oranglain yang akan melahirkan kebersamaan,berkomunikasi, tolong menolong dan dalam berbagai aktivitas social lainnya. Dalam pandangan islam seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya pandangan islam yang demikian sudah benar, tetapi kenyataannya sekarang masih banyak orang yang kurang peduli terhadap permasalahan sosial ini sehingga tatanan sosial menjadi kurang seimbang yang mengakibatnkan banyak terjadi kekacauan seperti pencurian, perampokan,dll. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai kepedulian sosial dalam perspektif hadits Rasulullah SAW.

B. Kepedulian Sosial.
  1. Memperhatikan Kesulitan Orang lain
  وعن أبى هر يرة رضى الله عنه عن النبى قال : من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيانفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة، ومن يسرعلى معسر يسرالله عليه فحا الد نياو الأخرة، ومن ستر مسلنا ستر ه الله فحا الد نياوالاخرة، والله فحاعون أخيه، ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة، وما اجتمع قوم فى  بيت من بيوت الله تعالى يتلون كتاب الله و يتدا رسونه بيهم إلا نزلت عليهم السكينة،
و غشيتهم الرحمة، وحفتهم الملا ئكة، وذكرهم الله فيمن عنده، ومن بطأ به عمله لم يسرغ به نسبه. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitan yang dialami orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitannya pada hari kiamat. Siapa saja memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya baik di dunia maupun diakhirat. Siapa saja yang menutupi kejelekan seorang muslim, maka Allah akan menutupi kejelekannya didunia dan diakhirat, dan Allah senantiasa member pertolongan kepeda hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” ( HR. Muslim ).[1]

Seseorang baru dapat meringankan atau bahkan melepaskan kesulitan orang lain, setelah dia memperhatikan kesulitan orang itu. Seorang muslim yang ingin ditolong oleh Allah SWT harus berusaha semampunya untuk menolong saudaranya yang sedang dalam keadaan kesulitan, sebagaimanan dinyatakan dalam hadits diatas. Hadits diatas juga mengajarkan kita untuk peduli dengan sesama muslim yang dikatakan oleh Reasulullah ada 3 hal yang nantinya ketiga hal tersebut akan dibalas dengan kebaikan yang sama diakhirat.
Ketiga hal tersebut adalah :
a.       Melepaskan kesulitan orang muslim.
b.      Memudahkan seseorang yang sedang dalam kesusahan.
c.       Menutupi Aib orang muslim.

Bila memperhatikan tentng kodrat kita sebagai makhluk social, maka akan tercipta persatuan dan kesatuan dilingkungan kita yaitu keluarga, kampong kita hidup, dan umumnya di Negara kita tercinta akan hidup damai dan bahagia. Hendaklah kita sebagai makhluk social jangan mementingkab diri sendiri tanpa memperhatikan pendapat, kesulitan oranglain dlam segala hal.

Dalam hadits Riwayat Muslim dinyatakan bahwa Nabi saw  telah bersabda:
من سره ان ينجيه الله من كر بيوم القيا مة فلينفس عن معس اويضع عنه
Artinya : Dari Abu Qatadah r.a., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menginginkan untuk diselamatkan oleh Allah dari kesulitan hari kiamat, maka bantulah meringankan kesulitan orangkain atau hindarkanlah kesulitannya.” (HR.Muslim).[2]

Dapat dipahami bahwa konsep saling menolong telah diajarkan dalam islam sebagai bentuk kepedulian terhadap sesam. Sebagaimana hadits diatas yang menjelaskan tentang anjuran untuk memperhatikan, meringankan dan menghindarkan kesulitan oranglain yang sekiranya membutuhkan atau patut untuk dibantu dalam kebaikan dan kita mampu untuk menolong hendaklah kita tolong. Namun, tentunya kepedulian social tersebut harus dilandasi dengan niat yang tulus, semata-mata hanya mengharap ridha Allah, sehingga nantinya kasih saying Allah akan datang kepada kita baik di dunia maupun diakhirat sebagai bentuk balasan dari-Nya.

2. Meringankan beban dan penderitaan oranglain.
 عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :
 المسلم اخوالمسلم لا يظلمه ولا يسلمه، من كان فى حاجة أخيه، كان الله
فى حاجته
Artinya : Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a., Rasulullah Saw. bersabda : “Seorang muslim adalah saudara dengan muslim yang lain, tidak boleh menganiaya, dan tidak boleh membiarkan saudaranya teraniaya. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa melapangkan kesulitan seorang muslim, Allah akan melapangkan baginya kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aib nya pada hari kiamat.” (HR.Muslim).[3]

Dalam islam antara seorang muslim terhadap muslim lain adalah saudara dan tentunya ada salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang muslim terhadap saudaranya yaitu tidak boleh membuat saudaranya kesusahan, sengsara, kewajiban untuk mempermudah kepentigan (hajat atau kebutuhan saudaranya) dan kita sebagai seorang muslim harus memberi rasa aman terhadap saudara muslim yang lain. Maka dari itu, Allah SWT akan memberikan balasan terhadap seorang muslim yang memenuhi kewajiban antar sesame muslim tersebut pada hari kiamat.

Sabda Rasulullah Saw.
 عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول :
 من اعتق رقبة مؤمنة، اعتق الله بكل عضومنه عضوا من النار حتى يعتق فرجه بفرجه.

Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., : Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda , “Barangsiapa memerdekakan seorang sajaya mukmin, Allah juga akan melepaskan anggota tubuh orang itu dari api neraka, sebanyak anggota badan sahaya yang dimerdekakannya itu, sampai kemaluannya pun karena kemaluan sang budak itu.”[4]
Sebaiknya dalam membantu penderitaan oranglain, seorang muslim sebaiknya mengutamakan orang yang sedang kesusahan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kesusahan. Seperti maksud hadits diatas bahwa seorang yang melepaskan penderitaan oranglain itu akan dibalas dengan kebaikan yang sama yaitu dilepaskan penderitaannya dari api neraka. Maka utamakanlah member bantuan kepada sesame muslim dan lepaskanlah penderitaannya.

Seperti Firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 9 :
šcrãÏO÷sãƒur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4
Artinya : Allah berfirman : “Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS.Al-Hasyr : 9).[5]


Bahwasannya kita sebagai seorang muslim yang baik, salah satu amalan yang paling utama adalah kita membantu meringankan beban penderitaan oranglain seperti member makanan jikalau dia lapar ataukah kita membantu mebayarkan hutangnya semampu kita. Seperti Sabda Rasulullah Saw :

 افضل الاعمال ان تدخل على اخيك المؤمن سرورا اوتقضى عنه د ينا اوتطعمه خبرا
Artinya : “Amal yang paling utama adalah bahwa engkau mengunjungi saudaramu orang mukmin dengan riang gembira atau engkau lunasi hutangnya atau engkau beri makan dia roti.”
Diriwayatkan oleh : Ibnu Abi Dunya dalam bab Fii Qadhail Hawaaij, dan Ibnu Lal dalam Makarimul Akhlaq, dan Al Baihaqi dalam As Syu’ab dari Abu hurairah r.a[6]

Dalam hadits diatas, amalan-amalan yang ada di dalam hadits tersebut merupakan akhlaq terpuji, salah satunya adalah melunasi hutang atau memberi makanan roti yang dimaksud roti disini adalah makanan yang mengenyangkan, yang termasuk dalam hal meringankan beban penderitaan oranglain. Dan termasuk dalam kategori kepedulian social dalam hal kebaikan.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah : “Bertolong-tolonglah kamu atas dasar kebaikan dan taqwa…”(QS.Al-Maidah :2). Dan juga sabda dari Rasulullah yaitu bawasannya kita harus mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. “Orang mukmin itu saudara bagi orang mukmin lain, dia akan berusaha menuruti apa yang disukai saudaranya itu, dia bayarkan hutangnya kalau dia sanggup, dia beri makan kalau dia lapar.[7]
Bukankah sudah jelas dari Firman Allah dan Sabda Rasulullah Saw. bahwa kita sebagai umat muslim harus saling tolong menoong dalam hal kebaikan. Jikalau semua umat muslim mau tolong menolong, Alangkah indahnya islamiyah dan masyarakat islam yang mengantarkan manusia seluruhnya dalam kebahagiaan, serta tatanan social yang semula tidak seimbang menjadi seimbang karena banyak orang yang sadar akan pentingnya peduli terhadap sesama muslim.





C. Kesimpulan

Kita sebagai umat muslim harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Namun tentunya tolong menolong tersebut harus dilandasi dengan niat yang tulus, semata-mata hanya mengharap ridha Allah, sehingga nantinya kasih saying Allah akan datang kepada kita baik di dunia maupun diakhirat sebagai bentuk balasan dari-Nya.. Jikalau semua umat muslim mau tolong menolong, Alangkah indahnya islamiyah dan masyarakat islam yang mengantarkan manusia seluruhnya dalam kebahagiaan, serta tatanan social yang semula tidak seimbang menjadi seimbang karena banyak orang yang sadar akan pentingnya peduli terhadap sesame muslim.
Wallahua’alam…..














Daftar Pustaka

An Nawawi, Al Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf. Riyadus Sholihin. Jakarta: Pustaka Amani,1999.
AD Damsyiqi,Ibnu Hamzah Al Husaini Al hanafi. Asbabul Wurud I. Jakarta: Kalam Mulia,2006.
Bahreisj, Hussein. Himpunan Hadits Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas , 1984.
Al Mundziri, Al Hafizh Zaki Al Din ‘Abd Al-‘Azhim.Ringkasan Shahih Muslim.Bandung: Mizan Pustaka,2008.








                                                                                            


[1]Al Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi,Riyadhus Sholihin,(Beriut:Darul Fikr, t.t.),267.
[2] Hussein Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim,(Surabaya:Al-Ikhlas,1984),180.
[3] Al Hafizh Al-Din Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim terjemahan dari Mukhtasar Shahih Muslim,(Beriut:Al-Maktab Al-Islami ,t.t.),1054
[4] Ibid.,488
[5] QS. Al;Hasyr(59,):9.
[6] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud I,(Jakarta:Kalam Mulia,2009),237.
[7] Ibid.,238.