Senin, 22 April 2013

Hukum Syara' (Ushul Fiqh)



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
3. Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?

















BAB II
PEMBAHASAN

  1.  Pengertian Hukum syara’
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Secara etimologi, kata hukum berarti mencegah atau memutuskan. [1] Mayoritas ahli fiqh mendefinisikan hukum syara’ sebagai berikut :[2]
Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau meninggalkan atau pilihan atau berupa ketentuan.[3]


B.     Pembagian Hukum Syara’

Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Ø Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau   meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.[4] Hukum taklifi dibagi menjadi sebagai berikut :
1.  Wajib
a.  Pengertian Wajib
Pengertian wajib secara etimologi, kata wajib berarti tetap atau pasti, sedangkan secara terminologi, sesuatu yang di perintahkan  (di haruskan)  oleh Allah dan Rosul-Nya  untuk di laksanakan oleh orang mukalaf dan apabila di  laksanakan akan mendapat pahala dari allah sebaiknya apabila tidak dilaksanakan di ancam dosa .
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan. Dalam arti mengikat setiap mukalaf jika di kerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Misalnya; sholat fardu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib, dalam arti mesti dilaksanakan. Berdosa siapa yang meninggalkanya .[5]
                   b. Pembagian Wajib
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada beberapa macam pembagian.
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, Hukum Wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu wajib aini dan wajib kifa’i :          
a). Wajib ‘Aini
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balig berakal (mukalaf) tanpa keculi  ulama ushul fiqih membagi hal tersebut kepada tiga kategori.
1).  kewajiban yang berhubungan dengan harta seperti kewajiban membayar zakat atau kewajiban  mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya  lain .
2).  kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah seperti sholat dan puasa , kewajiban seperti ini di sepakati tidak bisa di gantikan oleh orang lain.
3).  kewajiban yang mempunyai dua  dimensi yaitu dimensi fisik dan dimensi harta, misalnya: kewajiban melaksanakan haji  karena ibadah haji disamping syarat  dan rukunnya juga mengandung rahasia- rahasia yang akan di rasakan oleh pihak yang melakukan haji yang tidak mungkin di rasakan bila mana di gantikan oleh orang lain.
             b). Wajib Kifa’i ( wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukalaf  namun bila mana telah di laksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi di wajibkan mengerjakannya. Misalnya :  laksanakan sholat jenajah adalah kewajiban seluruh umat islam tetapi sudah di anggap mencukupi bilamana di laksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun bila mana tidak seorangpun ada yang mengerjakannya maka seluruh umat islam di ancam dengan dosa  demikian pula dengan kewajiban melakukan amar marruf dan nahi munkar  menjawab salam belajar ilmu kedokteran dan belajar ilmu bangunan.
Di lihat dari segi kandungan perintah , hukum wajib dapat di bagi menjadi dua macam :
a). Wajib Mu’ayyan.
 yaitu suatu kewajiban di mana yang memjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain msalnaya,kewajiban melakukan shalat lima waktu sehari semalam , kewajiban kelakukan puasa di bulan ramadhan ,membayar zakat ,dan menegakan keadilan . keawjiban seperti ini tidak dianggap terlaksana, kecuali dengan melaksanakan keawajiban yang telah ditentukan itu.
b). Wajib Mukhayyar
yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya  boleh di pilih antara beberapa alternatif. Misalnya kewajiban membayar kaffarat  (denda melanggar) sumpah.
Dilihat dari segi waktu pelaksanaanya ,hukum wajib terbagi menjadi dua macam:
a). Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya:  kewajiban untuk membayar puasa ramadhan yang tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa yang tertinggal itu boleh dibayar kapan saja tanpa dibatasidengan waktu tertentu. Berbeda dengan itu menurut Imam Syafi’i kewajiban membayar puas yang tertinggal itu harus dibayar sebelum datang bulan ramadhan berikutnya. Contoh lain  Ke wajiban  membayar   kaffarat sumpah  boleh dibayar kapan saja. Tanpa dibatasi dengan waktu  tertentu.
b). Wajib Muaqqat
Yaitu  kewajiban pelaksanaanya di batasi dengan waktu tertentu. Wajib muaqqat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.      Wajib muwassa’, yaitu suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya telah ditentukan syari’ dan waktu yang diberikan cukup luas, melebihi waktu pelaksanan kewajiban itu sehingga dalam waktu itu memungkinkan melakukan amalan yang sejenis dengan kewajiban tersebut.
2.      Wajib mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang telah ditentukan waktunya dan waktu yang disediakan hanya cukup untuk pelaksanaan perbuatan yang diwajibkan, sehingga waktu itu tidak bias digunakan untuk melaksanakan amalan- amalan lain.
3.      Wajib dzusyabhaini, yaitu kewajiban yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya yang dari satu segi muwassa,(luas) dan dari segi lain mudhayyaq(sempit).

Dan bila dilihat dari segi jumlah atau ukuran yang diwajibkan terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
a)      Wajib Muhaddah, yaitu suatu kewajiban yang ditentukan syari’ jumlahnya sehingga seorang mukallaf belum terlepas dari kewajiban itu kecuali telah melaksanakan sesuai jumlah yang telah ditentukan.
b)      Wajib Ghairu Muhaddah, yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan syari’ jumlah dan ukurannya. Mengenai ukuran kewajiban itu diserahkan pada para ulama’, pemimpin dan umat untuk menetapkannya.

2 . Mahdub
a. Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti  sesuatu yang di anjurkan   Sedangkan menurut istilah : suatu perbuatan yang di anjurkan oleh Allah dan Rosul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakanya  namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakanya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menujukkan pengertian yang sama.
b. Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan mandub terbagi kepada beberapa    tingkatan :
1.      sunnah muakkadah ( sunnah yang sangat di anjurkan ) .yaitu perbuatan yang di biasakan oleh rosululoh dan jarang di tinggalkan .misal ;shalat sunah dua rakaat sebelum fajar .
2.      sunnah ghair al muakkadah (sunnah biasa ) ,yaitu sesuatu yang di lakukan Rasulullah ,namun bukan menjaadi ke biasaanya . misalnya ;melakukan sholat sunah dua kali dua rakaat sebelum zuhur ,dan seperti memberikaan sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam ke adaaan terdesak ,maka hukum membantunya adlah wajib .
3.      sunnah al zawaid yaitu:  mengikuti kebiasaan sehari hari rosululloh sebagai manusia .misanya:  sopan santun dalam makan ,minum dan tidur , .menggikuti rosulloh dalam masalah- masalah tersebut hukumnya sunnah namun tingkatanya di bawah dua macam sunnah di atas dan lebih kuat adalah macam sunnah yang di sebut pertama tadi .

3. Haram
            a. Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti, sesuatu yang di larang mengerjakanya secara teminologi ushul  fiqh kata haram  berarti  sesuatu yang di larang oleh Allah dan Rosul-Nya, di mana orang yang melarangnya di anggap durhaka dan di ancaam dengan dosa dan orang yang meninggalkanya karena menaati Allah ,di beri pahala .misalnya larangan berzina.
b. Pembagian Haram.
Para ulama ushul fiqih , maembagi haram menjadi beberapa macam
1. Al-muharram li dzatihi .
Yaitu sesuatu yang di haramkan oleh syariat karena esesinya mengandung kemudaratan bagi ke hidupan manusia , dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya:  larangan berzina meningkai wanita –wanita mahram seperti ibu kandung daan saudara kandung.
2. Al –muharram li ghairihi.
 Yaitu sesuatu yang di larang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di larang secara esensial. misalnya ,larangan melakukan jual beli pada waktu azan sholat jum’at.
4.    Makruh
a.       Pengertian makruh
Secara bahasa makruh berarti sesuatu yang di benci dalam istilah ushul fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama’ ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.[6]
b.      Pembagian makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam :
(1)   Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarangoleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat  zhanni al-warud (kebenaran datangnya dari rosulullah hanya sampai kedugaan keras), tidak bersifat pasti.
(2)   Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5.    Mubah
a.       Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
b.      Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya Al-muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam, yaitu :
(1)   Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
(2)   Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
(3)   Sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Ø Hukum wadh’i adalah firman Allah yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hukum wadh’i, yaitu sebagai berikut :

1.      Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hokum wadh’i (dalam hal ini adalah sebab) dengan hukum taklif, sekalipun keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’ Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash,  bukan buatan manusia.

2.      Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hokum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan stara’. Misalnya, wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu’. Akan tetapi, apabila seseorang berwudhu’, ia tidak harus melaksanakan shalat. Contoh lain adalah saksi dalam pernikahan. Keberadaan saksi itu adalah salah satu syarat sahnya nikah, sehingga pernikahan tanpa saksi adalah tidak sah. Akan tetapi, kesaksian itu sendiri bukanlah merupakan unsur dari nikah, karena ia berada di luar esensi nikah itu sendiri. Apabila saksi tidak ada maka hukum nikah pun tidak ada, tetapi adanya saksi tidak mengharuskan adanya pernikahan.

3.      Mani’  (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut. (H.R. Bukhari dan Muslim). Perbuatan membunuh itu merupakan mani’ (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Disisi lain, adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan suami dalam kasus pembunuhan di atas, maka hubungannya keturunan (perkawinan) menjadi penghalang dilaksanakannya hukuman qishash.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk mengerjakannya. Misalnya, shalat Zhuhur wajib dikerjakan apanila telah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat). Tetapi, karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani’), maka shalat zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Demikian juga halnya, apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu’), tetapi penyebab wajibnya shalat zhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir), maka shalat pun belum wajib. Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani’, yaitu haid, maka shalat zhuhur pun tidak bisa dikerjakan.

4.      Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwughu’ (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’-nya tidak ada.

5.      Bathil
Yaitu terlepasnya hukum terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Di samping batal, ulama’ Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Menurut mereka, fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama’ Ushul Fiqh/mutakallim berpendirian bahwa antara batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama, yaitu sama-sama tidak sah.

6.      ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang diisyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam Al-Baidhawi (ahli Ushul Fiqh Syafi’iyyah), mengatakan bahwa ‘azimah itu adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada uzur.” Misalnya, jumlah rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat. Jumlah raka’at ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dhuhur. Hukum tentang rakaat shalat dhuhur adalah empat rakaat disebut dengan ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh  mengerjakan shalat dhuhur dua raka’at, seperti orang mushafir, maka hukum itu disebut rukhsah. Dengan demikian, para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan rukhsah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

 Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
 Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi ada 5 yaitu wajib , mahdub, haram , makruh, mubah, . Hukum wadh’i terbagi menjadi 6 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah ,bathil dan ‘Azimah dan Rukhshah


DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasat al-Risalah,1985.
Effendi,satria.  Ushul Fiqh. Jakarta: kencana,2008.
Firdaus, Ushul Fiqh,Jakarta : Zikrul Hakim, 2004
Wahbah al- zuhaili, Ushul al- fiqh al islami, Beriut : dar al-Fikr, 2001


[1] Wahbah al- zuhaili, Ushul al- fiqh al islami, (Beriut : dar al-Fikr, 2001),hlm 37.
[2] Abd al- karim Zaidan , al-Wajiz fi Ushul al-fiqh, ( Beriut : Muassasah al- Risalah, 1997),hlm23.
[3] Firdaus M.Ag, Ushul Fiqh,( Jakarta : Zikrul Hakim, 2004)hlm 236.
[4] Wahbah,op,cit,halm.42.
[5] Satria Effendi, M Zein , Ushul Fiqh ( Jakarta: kencana,2008).hlm43.
[6] Ibid. Hal. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar